Di balik sengketa lahan PT Tarumah Indah di Jatinegara, Cakung, Jakarta Timur, terkuak praktik klasik yang mencerminkan wajah buruk mafia tanah di Indonesia, klaim sepihak, girik diduga palsu, intimidasi administrasi, hingga dugaan keterlibatan oknum aparat dan permainan hukum.
Jakarta | PT Tarumah Indah, pemilik sah atas sebidang lahan seluas ±6.720meter persegi di Kelurahan Jatinegara berdasarkan Surat Pelepasan Hak atas bekas Hak Milik Adat C No. 454, telah menyabet kemenangan telak atas Madrais Cs dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi hingga Peninjauan Kembali.
Putusan-putusan yang telah inkracht, PN Jakarta Timur: No. 139/PDT.G/2004/PN.JKT, PT DKI Jakarta: No. 128/PDT/2006/PT.DKI, MA Kasasi: No. 1444 K/PDT/2009, PK Mahkamah Agung: No. 672 PK/PDT/2012 dan Penetapan Pengadilan: No. 51/6/2011/PT UN.JKT.
Namun ironisnya, meski telah kalah secara sah dan meyakinkan, pihak Madrais Cs tetap mencoba ‘mengotak-atik’ sistem pertanahan dengan pengajuan administrasi sertifikat, menyewa lahan kepada pihak lain, bahkan memproduksi dokumen baru seperti PBB.
“Girik yang mereka pegang diduga palsu. Mereka kalah di semua tingkat pengadilan, tapi tetap memaksakan kehendak. Ini jelas modus mafia tanah,” tegas Direktur PT Tarumah Indah, Victor AMD Engel, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (01/06/2025).
Rekayasa dan Narasi Sesat: Bawa Nama Presiden, Tekan BPN
Victor tak hanya menyoroti klaim kosong pihak lawan, tetapi juga mengungkap adanya upaya manipulatif dari Madrais Cs, termasuk mencatut nama Presiden Prabowo Subianto demi menekan BPN Jakarta Timur agar menerbitkan sertifikat yang tidak sah secara hukum.
“Pada 2019, ada indikasi permainan yang melibatkan hakim tingkat kasasi yang akhirnya tersandung kasus suap. Kami curiga, jaringan lama mafia tanah ini masih aktif dan berusaha mengatur ulang sistem,” ungkap Victor.
Tidak berhenti di situ. Pihak Madrais Cs, melalui kuasa hukumnya Edy Wilson Iskandar Harahap, dalam laporan ipol.id (21/05/2025), mengklaim telah mengurus sertifikat sejak 2018 atas nama Djimun Bin Nikun. Namun tidak ada satu pun dari pernyataan tersebut yang mencantumkan fakta kekalahan hukum mereka selama lebih dari satu dekade terakhir.
“Mereka sembunyikan fakta-fakta hukum. Proses hukum sudah selesai sejak 2012. Kenapa masih ajukan pengukuran dan sertifikat? Ini jelas bentuk pembangkangan terhadap sistem hukum yang sah,” tegas Victor.
Pola serupa marak terjadi di berbagai wilayah, pihak kalah hukum mencoba jalur administrasi ke BPN, menyewa lahan, menerbitkan PBB secara ilegal, lalu mengklaim ‘keberadaan fisik’ sebagai dasar penguasaan.
Dalam kasus PT Tarumah Indah, lahan yang sudah dimiliki sejak 1981 oleh pendiri perusahaan, almarhum Darmadi, justru kini diklaim oleh pihak yang tidak memiliki dasar hukum sah. Ironisnya, mereka justru mendapat celah dari sistem administrasi negara yang longgar.
Victor menyebut upaya ini sebagai “rekayasa sistematis yang memanfaatkan kebingungan publik atas legalitas girik dan sertifikat.”
“Kami punya dokumen lengkap sejak 1981. Tapi mereka buat narasi seolah dizalimi. Padahal faktanya, mereka penyusup. Bahkan menyewakan tanah kami untuk kepentingan pribadi,” ujarnya tajam. (***)